Rabu, 20 September 2017

Foto Bersama Panitia BTOPH 2017

Sebelumnya kami diberikan tugas oleh kakak pembimbing kami. Tugas yang diberikan beraneka ragam, mulai dari membuat makalah, laporan, hingga makanan. Saya salah satu bagian dari kelompok kesehatan lingkungan, melakukan kesalahan kelompok karena menunda waktu mengumpulkan makalah 7 bidang kesehatan masyarakat dan laporan indepth. Alasan kami terlambat mengumpulkan makalah 7 bidang kesehatan masyarakat dikarenakan miscommunication pada anggota satu dengan lainnya. Beberapa topik di dalam makalah 7 bidang kesehatan masyarakat belum terselesaikan karena anggota yang mendapatkan bagian tersebut belum memberikan kepada ketua sebelum waktu yang ditentukan. Sedangkan alasan kami terlambat mengumpulkan laporan indepth dikarenakan kesalah pahaman informasi yang didapat oleh kami dan beberapa kelompok lainnya mengenai batas waktu pengumpulan makalah. Kami mendapatkan informasi bahwa laporan indepth tersebut terakhir dikumpulkan pada  hari minggu pukul 22.00 WIB, sebelumnya kami telah menyelesaikan laporan tersebut dan telah dikirimkan kepada kakak PK kami melalui email. Hanya saja pada hari minggu kami tidak membawa laporan tersebut dalam bentuk hard file. Dan karena itu kami mendapat sanksi berupa melakukan swafoto dengan para panitia BTOPH 2017 dengan ketentuan minimal 3 panitia dengan waktu yang berbeda-beda.


Pada foto pertama pada hari Selasa tanggal 18 September sekitar pukul 07.30 kami akan berfoto dengan Mba Maylinda atau yang akrab disapa Mba May yabg merupakan salah satu panitia BTOPH 2017 dari Tim Horey. Sebelum itu kami memang membuat janji terlebih dahulu. Pagi itu kami bersiap dan akhirnya kami berhasil berfoto bersama dengan Mba May dengan mengambil lokasi di lobby kesehatan masyarakat.

Sekitar 15 menit setelah berfoto dengan Mba May kita tidak sengaja bertemu dengan Mas Kinaryo yang juga merupakan panitia BTOPH 2017. Tanpa persiapan kami mencoba mengajak Mas Kinaryo berfoto bersama dan Alhamdulillah Mas Kinaryo berkenan untuk kita ajak foto bersama dan jadilah kita foto bersama dengan mengambil lokasi yang sama dengan foto pertama.


Kemudian, pada sekitar jam 10 kami berfoto dengan Mas Gianaj yang juga panitia BTOPH 2017. Mas Gianaj sangat ramah walaupun ini merupakan foto yang kedua kalinya karena saat foto pertama kita tidak lengkap. Kita mengambil foto bersama bertempat di lapangan kesehatan masyarakat.

Sekian dari saya, kurang lebihnya kami mohon maaf. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mba mas yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas kami. Sekian dan terimakasih.

Minggu, 17 September 2017

Biografi tentang tokoh kesehatan masyarakat


Namadr. I PUTU BUDHIASTRA, Sp.M
NIDN/NUP0008055407
Perguruan TinggiUniversitas Udayana
Program StudiIlmu Kesehatan Mata Sp-1
Jenis KelaminLaki-laki
Jabatan FungsionalLEKTOR KEPALA
Pendidikan TertinggiSp-1
Status Ikatan KerjaDOSEN TETAP
Status AktivitasAKTIF MENGAJAR

REVIEW MATERI BToPH 2017

MATERI MIRACLE
Dengan adanya Basic Training of Public Health (BtoPH) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Keluarga Besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat (HIMA KMBKM), Dosen FIKes Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Sc. Hum. Budi Aji, SKM, M.Sc. menyampaikan materi di hadapan ratusan mahasiswa baru kesehatan masyarakat unsoed tahun ajaran 2017/2018, Sabtu (16/9/2017). Kuliah yang diselenggarakan di ruang kuliah 4 gedung kesehatan masyarakat unsoed tersebut mengangkat materi dasar kesehatan masyarakat.
Dalam kuliahnya, Pak Budi menerangkan bahwa ilmu kesehatan masyarakat itu merupakan kombinasi dari ilmu pengetahuan, keterampilan, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan memperpanjang usia semua orang melalui tindakan kolektif yang terorganisir. Ilmu kesehatan masyarakat juga bertujuan untuk mencegah penyakit dan memenuhi seluruh kebutuhan dalam kesehatan dengan memenuhi strategi pemberdayaan masyarakat untuk hidup secara mandiri.
“Ahli kesehatan masyarakat itu harus dapat membuat masyarakat berdaya, bukan tergantung karena yang kita ciptakan adalah masyarakat mampu hidup sehat. Seorang ahli kesehatan masyarakat juga harus mampu bekerja dalam tim, bekerja kolektif dan multi sektor,” jelas Pak Budi.
Terdapat beberapa fungsi ilmu kesehatan masyarakat, yaitu mengkaji dan memantau masalah kesehatan di masyarakat atau kelompok berisiko dalam upaya mengidentifikasi masalah dan menetapkan prioritas masalah, memformulasikan kebijakan kesehatan, dan menjamin agar masyarakat memiliki akses yang tepat terhadap pelayanan yang cost effective.
Lebih lanjut, sebagai gambaran profesi kesehatan masyarakat, Agustin memaparkan bahwa profil ahli kesmas harus menjadi “MIRACLE” yang merupakan singkatan dari Manager (manajer) yaitu manajer sebagai pengelola kesehatan, Innovator (pembaharu) yaitu sebagai penemu pembaharuan ide, Researcher (peneliti) yaitu sebagai peneliti kesehatan, Apprenticer (mampu belajar dalam tim dan mampu bekerja cepat), Communitarian (merakyat) yaitu sebagai manusia yang selalu komunikasi dengan masyarakat, Leader (pemimpin) yaitu sebagai pemimpin dan Educator (pendidik) yaitu sebagai pembimbing yang dapat mendidik masyarakat dengan masalah-masalah kesehatan yang terjadi. Untuk bisa menjadi Miracle, seorang ahli kesmas harus mempunyai basic public health skills yang didapatkan pada saat kemarin yaitu kegiatan acara basic training of public health.
Beberapa keahlian yang harus dimiliki di antaranya analysis and assessmentpolicy development and program planningcommunication skillcultural competency, community dimension of practicepublic health sciences, financial planning and management, dan leadership and system thinking.
Dalam kuliahnya, Pak Budi juga berpesan kepada seluruh mahasiswa baru untuk berprestasi tidak hanya dalam pencapaian nilai yang baik namun juga mengikuti kegiatan di luar tanggung jawab akademik seperti organisasi dan unit kegiatan mahasiswa lainnya yang telah didukung penuh oleh Kepala Jurusan Kesehatan Masyarakat Unsoed karena organisasi dapat mengajarkan kepemimpinan.
Dalam ilmu kesehatan masyarakat, terdapat graphical model of public health yang harus diketahui oleh mahasiswa dimana terdapat empat tools utama yaitu biostatisticepidemiologysocial and behavioral science dan health policy and management. Terdapat pula 2 susbtansi yang melingkupinya yaitu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dan kesehatan lingkungan. Public Health itu system thinking dan kemampuan kesehatan masyarakat unsoed itu meneliti sehingga pada dasarnya setiap ahli kesmas harus menguasai semuanya.
Selain itu, ia juga menekankan mengenai soft skill yang juga penting dikuasai oleh ahli kesmas yaitu proactive (bergerak tanpa menunggu masalah), care (peduli terhadap masalah) dan social enterpreneur (menjadi engine untuk menggerakkan kesehatan masyarakat).
Oleh karena itu, Harapan dimasa depan setiap lulusan Kesehatan Masyarakat dapat menjadi keajaiban. Diharapkan seorang sarjana kesehatan masyarakat memiliki karakter MIRACLE.
MATERI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Materi ini disampaikan oleh alumni kita sendiri yaitu mas Raditya Pradipta, SKM. Beliau adalah lulusan kesehatan masyarakat tahun 2007. Materi ini juga sama yaitu diselenggarakan pada Sabtu (16/9/2017). Kuliah yang diselenggarakan di ruang kuliah 4 gedung kesehatan masyarakat unsoed tersebut mengangkat materi tentang pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan pemberdayaan merupakan suatu siklus kegiatan sebagai berikut: 
v  Keinginan untuk Berubah
v  Kemauan dan Keberanian untuk Berubah
v  Kemauan untuk Berpartisipasi
v  Peningkatan Partisipasi
v  Tumbuhnya Motivasi Baru untuk Berubah
v  Peningkatan Efektivitas dan Efisensi Pemberdayaan
v  Tumbuhnya Kompetensi untuk Berubah
Pertama, menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk penyadaran dan memperbaiki, yang memerlukan titik awal perlunya pemberdayaan. Tanpa adanya keinginan untuk berubah dan mempernaiki, maka semua upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan tidak akan memperoleh perhatian, simpati atau partisipasi masyarakat
Kedua, menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari kesenangan/kenikmatan dan hambatan-hambatan yang dirasakan, untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti pemberdayaan demi terwujudnya perubahan dan perbaikan yang diharapkan
Ketiga, mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian dalam kegiatan pemberdayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan
Keempat, peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang telah dirasakaan manfaat/perbaikannya
Kelima, peningkatan peran pada kegiatan pemberdayaan, yang ditunjukkan berkembangnya motivasi-motivasi untuk melakukan perubahan
Keenam, peningkatan efektifitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan
Ketujuh, peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan baru
Ada juga paradigma lain yang mengemukakan bahwa paling tidak tahapan kegiatan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam 7 (tujuh) kegiatan:
Penyadaran, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang “keberadaanya”, baik keberadaanya sebagai individu dan anggota masyarakat, maupun kondisi lingkunganya yang menyangkut linkungan fisik/teknis, sosial-budaya, ekonomi, dan politik.
Menunjukkan, adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak diinginkan yang kaitannya dengan : keadaan sumberdaya (alam, manusia sarana-prasarana, kelembagaan, budaya, dan aksebilitas), lingkungan fisik/ teknis, sosial-budaya, dan politis.
Membantu pemecahan masalah,analisis akar-masalah analisis alternatif pemecahan masalah, serta pilihan alternatif pemecahan terbaik yang dapat dilakukan sesuai kondisi internal (kekuatan, kelemahan) maupun kondisi eksternal (peluang, ancaman) yang dihadapi.
Menunjukkan pentingnya perubahan, yang akan dan sedang terjadi dilingkungannya, baik lingkungan organisasi dan masyarakat (lokal, nasional, regional, dan global).
Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi perubahan terencana yang berhasil dirumuskan.
Memproduksi dan pubilkasi informasi, baik yang berasal dari “luar” (penelitian, kebijakan, produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam (pengalaman, indegenuous technology, maupun kearifan tradisional dan nilai-nilai adat yang lain).
Melaksanakan pemberdayaan/atau penguatan kapasitas, yaitu pemberian kesempatan pada kelompok lapisan bawah (grassroot) untuk bersuara dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya dengan : aksesibilitas informasi, keterlibatan dala pemenuhan kebutuhan, serta partisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas public), dan penguatan kapasitas local.
Adapun prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu Comunity Development dan Comunity Organizer.
Langkah Pemberdayaan Masyakarat terdiri dari beberapa tahapan. Persiapan, pengkajian(assesment), perencanaan, pelaksaan, dan monitoring dan evaluasi.
Penyuluhan Kesehatan yang ia jelaskan yaitu:
1.      Kenali sasaran
§  Jenis Kelamin
§  Pendidikan
§  Usia
§  Budaya
2.      Kuasai materi
§  Isi materi
§  Alat dan bahan interaktif
3.      Rencana kegiatan
§  Bina suasana
§  Metode
§  Tindak lanjut
Dan yang terakhir beliau memberikan tips untuk kami semua. Pertama, Interaktif/Diskusi dalam suatu forum. Kedua, Kuasai masalah/materi yang akan dibicarakan dalam forum tersebut. Dan yang terakhir modifikasi kegiatan supaya kegiatan tersebut kondusif dan menarik untuk dibicarakan.
MATERI ADVOKASI
Dengan adanya Basic Training of Public Health (BtoPH) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Keluarga Besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat (HIMA KMBKM), Mahasiswa Fakultas Hukum tahun 2013 menyampaikan materi di hadapan ratusan mahasiswa baru kesehatan masyarakat unsoed tahun ajaran 2017/2018, Sabtu (16/9/2017). Kuliah yang diselenggarakan di ruang kuliah 4 gedung kesehatan masyarakat unsoed tersebut mengangkat materi advokasi di sekitar kampus.
Apa itu advokasi?
Beliau berkata advokasi itu sebuah gerakan atau aksi untuk menuntut hak yang seharusnya dan untuk mewujudkan itu harus adanya perubahan dengan tahapan-tahapan atau biasa di bilang prosedur. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) advokasi berarti pembelaan.  Advokasi berasal dari bahasa Ingris, to advocate yang berarti “membela” (to defend). Bisa juga berarti “menyokong”, “memajukan”, “menganjurkan”, ‘mengemukakan’ (to promote), atau juga berarti melakukan ’ perubahan’ (to change). Advokasi berarti suatu cara yang cermat, terencana, dan terorganisir untuk melakukan pembelaan ataupun mendorong suatu perubahan. Jadi tujuan dari advokasi adalah perubahan yang luas terkait kebijakan sehingga masyarakat banyak dapat merasakan manfaatnya. Hanya mengandalkan demonstrasi bukanlah advokasi. Perlu diingat advokasi bukanlah milik advokat ataupun aktivis-aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mahasiswa juga mampu melakukan advokasi, bahkan bisa melebihi apa yang dilakukan oleh LSM.

Untuk
Beberapa contoh konkrit advokasi mahasiswa yang muncul ke permukaan:
1.      Perjuangan membatalkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Advokasi menolak UU Badan Hukum Pendidikan dimulai oleh rekan-rekan BEM UI semenjak tahun 2006. Pusgerak BEM UI melakukan kajian yang komprehensif terkait sistem pendidikan yang akan dibawa mengarah ke liberalisasi pendidikan dengan disahkannya UU BHP. Pasca pengesahan UU BHP gerakan kemudian meluas melibatkan elemen masyarakat, guru, mahasiswa, akademisi dan LSM. Rencana advokasi dirumuskan bersama dan kegiatan advokasi dilaksanakan secara terus menerus hingga Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP tersebut karena Mahkamah menerima permohonan dari berbagai koalisi yang menolak UU BHP. Beberapa pemohon pembatalan adalah mahasiswa.
2.      Pencurian pulsa oleh content provider dan operator seluler.
Advokasi ini dilakukan oleh Lisuma Indonesia dan Lisuma Jakarta. Lisuma berhasil mengajak masyarakat, media, akademisi, LSM, praktisi, dan pemerintah untuk memperhatikan permasalahan pencurian pulsa yang dilakukan oleh content providerdan operator seluler. Advokasi dilaksanakan secara terus menerus, berbagai kampanye dilakukan, pembuatan posko, demonstrasi, dll. Walaupun belum memenuhi kepuasan konsumen sepenuhnya, dari advokasi muncul kebijakan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia yaitu 1) BRTI akan menyampaikan data yang diduga merugikan konsumen terkait penyedotan pulsa melalui sms premium kepada Polri, untuk diteliti secara hukum; 2) BRTI akan menjaga ketat hubungan bisnis antara operator dan penyedia konten dalam memberikan layanan pesan premium; 3) BRTI juga akan merancang sistem aplikasi untuk memudahkan masyarakat, yang tidak menginginkan pesan premium akan  segera dibuat; 4) Jika ditemukan penyedia konten yang melakukan pelanggaran, maka BRTI akan menemui operator seluler agar penyedia konten segera diberhentikan dan diumumkan ke publik 5) BRTI dan operator seluler akan membuat iklan layanan masyarakat secara masif yang menginformasikan nomor pengaduan.
Ada berbagai advokasi yang menurut hemat penulis dapat dilakukan oleh mahasiswa saat ini, yaitu:
1.      RUU Pendidikan Tinggi dan kebijakan akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu.
2.      RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan.
3.      Kasus Korupsi (Pelemahan KPK lewat RUU KPK, Kasus Century, Nazarudin, Kemenakertrans, dll)
4.      Berbagai kasus konsumen, lingkungan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik, dll
5.      Privatisasi Air di Indonesia, khususnya Jakarta yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 18 Triliun rupiah.
6.      Dll (mahasiswa harus mampu menemukan sendiri hal yang akan diadvokasinya).
Jika advokasi selalu gagal karena rezimnya bermasalah, maka gantilah rezimnya.


Sabtu, 16 September 2017

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT

Korespondensi: Qomariyatus Sholihah, Departemen K3 IKM FK Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36,3 Banjarbaru 70714 Kalimantan
Selatan, No. Telp: 05114772747, email: qoqom_kuncoro@yahoo.co.nz
Abstrak
Penambangan batu bara merupakan salah satu sumber pencemaran udaraberupa partikel debu batu bara yang dapat mengganggu kesehatan pernapasan bila terhirup manusia. Risiko kerja yang sering terjadi dapat berasaldari faktor pekerjaan atau perilaku pekerja sendiri, di antaranya sif kerja dan
masa kerja. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan sif kerja, masa kerja, dan budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) denganfungsi paru pekerja tambang batu bara. Penelitian ini merupakan desain kasus kontrol dengan jumlah masing-masing sampel untuk kasus dan kontrol
ebesar 178 responden. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober -
November 2014 di PT. X Kalimantan Selatan. Hasil penelitian berdasarkan
uji kai kuadrat, didapatkan nilai p = 0,044 untuk sif kerja, 0,028 untuk masa
kerja, dan 0,013 untuk budaya K3. Berdasarkan hasil uji regresi logistik, didapatkan nilai p sif kerja 0,01 dengan OR = 3,934. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sif kerja dengan fungsi paru, dan tidak terdapat hubungan antara masa kerja dan budaya K3 dengan fungsi paru. Sif
kerja merupakan variabel independen yang paling dominan memengaruhi
fungsi paru.
Kata kunci: Fungsi paru, keselamatan dan kesehatan kerja, masa kerja, sif
kerja
Abstract
Coal mining is one source of air pollution caused in form of coal dust particle that may interfere with health of breathing if inhaled by human.Occupational risks often occurred may come from occupational factor orworker’s behavior itself, ones of which are work shift and work period. Thisstudy aimed to determine relations of work shift, work period and occupational health and safety (OHS) culture with lung function of coal miningworker. This study was control case design with each amount of sample forcase and control was 178 respondents. The study was conducted onOctober – November 2014 at PT X in South Kalimantan. Results based on
chi-square test showed p value = 0.044 for work shift, 0.028 for working period and 0.013 for OHS culture. Based on logistic regression test results, p
value for work shift was 0.01 with OR = 3.934. As a conclusion, there is a
relation between work shift with lung function and no relation between working period and OHS culture with lung function. Work shift is an independent
variable most dominantly influencing the lung function.
Keywords: Lung function, occupational health and safety, working period,
work shift
Pendahuluan
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan
suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang
aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah menciptakan
produktivitas setinggi-tingginya. K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali.
Pelaksanaan K3 dapat mengurangi kecelakaan kerja sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja.1
Penambangan batu bara merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang dihasilkan dari partikel debu
batu bara. Partikel debu tersebut dapat menyebabkan
gangguan pernapasan bila terhirup manusia. Risiko kerja yang sering terjadi dan banyak menimbulkan kerugian
adalah penyakit paru kerja yang timbul akibat pajanan
debu batu bara dalam jangka waktu lama, yaitu
pnemokoniosis, bronkitis kronis, dan asma kerja.2,3
Setiap tahun di seluruh dunia, dua juta orang mengalami penyakit akibat kerja. Dari jumlah tersebut, terdapat 40.000 kasus baru pneumokoniosis.4 Menurut
Analisis Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya Keselamatan
dan Kesehatan Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja
Tambang Batu Bara
Analysis of Work Shift, Working Period, and Occupational Health and
Safety Culture with Lung Function of Coal Mine Workers
Qomariyatus Sholihah*, Aprizal Satria Hanafi**, Wanti***, Ahmad Alim Bachri****, Sutarto Hadi*****
*Departemen K3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia,
**Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia,
***Politeknik Kesehatan Kupang, Indonesia, ****Fakultas Ekonomi, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia,
*****Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
25
International Labor Organization (ILO) tahun 2013,2,34 juta orang meninggal setiap tahunnya karenapenyakit akibat kerja. Di Jepang, pada tahun 2011, salahsatu penyakit akibat kerja yang paling besar angkanyaadalah pneumokoniasis, sama halnya dengan di Inggris.5Angka sakit di Indonesia mencapai 70% dari pekerjayang terpapar debu tinggi. Sebagian besar penyakit paruakibat kerja memiliki akibat yang serius, yaitu terjadinyagangguan fungsi paru dengan gejala utama yaitu sesaknapas.6Kejadian penyakit akibat kerja tersebut diperkirakan
akibat dari faktor ekstrinsik seperti faktor lingkungan
dan faktor perusahaan serta faktor intrinstik seperti perilaku, sikap, dan kedisiplinan.7 Penerapan implementasi
program K3 akan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan produktivitas kerja.8
Salah satu faktor yang menyebabkan gangguan fungsi
paru adalah sif kerja. Pekerja tambang batu bara memiliki waktu sif siang (pagi, siang, sore) dan sif malam.
Permasalahan lebih banyak terjadi pada pekerja sif
malam karena irama faal tubuh manusia yang tidak dapat menyesuaikan kerja malam dan tidur.9 Kerja sif
malam merupakan sistem yang berlawanan dengan irama
sirkadian. Kelainan pola tidur sebagai salah satu bentuk
gangguan irama sirkadian yang dialami pekerja sif memiliki konsekuensi patologis berupa peningkatan kadar
sitokin proinflamasi dalam darah karena penurunan sistem kekebalan dan antioksidan dalam tubuh.10
Penyakit pernapasan tidak hanya disebabkan oleh
debu saja, melainkan dari karakteristik individu seperti
masa kerja yang terkait dengan tingkat pajanan. Masa
kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan dengan debu lingkungan. Selain itu,
kebiasaan merokok juga merupakan salah satu kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Seorang perokok memiliki risiko kematian 20 kali
lebih besar akibat kanker paru dibandingkan yang
bukan perokok.11 Seseorang yang semakin lama bekerja pada tempat yang mengandung debu, akan semakin
tinggi risiko untuk terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernapasan.12 Penelitian yang dilakukan pada pekerja tambang batu bara di Kalimantan
Timur tahun 2012 diperoleh sebanyak 45,1% yang
mengalami gangguan fungsi paru obstruktif dengan
masa kerja > 5 tahun dan 16,7% yang masa kerjanya <
5 tahun.13 Menurut Kaligis,8 implementasi program K3
akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan produktivitas kerja. Impelementasi K3
mampu mengurangi angka kecelakaan kerja sehingga
pekerja dapat bekerja dengan lebih baik dan mengurangi angka absensi kerja akibat kecelakaan kerja atau
penyakit akibat kerja.
Berdasarkan data yang diperoleh dari audit internal
PT X tahun 2014, kadar debu di bagian produksi mencapai 4,8 mg/m3. Sedangkan menurut National Institute
of Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 2011,
nilai ambang batas untuk debu batu bara adalah 2
mg/m3. Debu tersebut akan meningkatkan risiko gangguan paru pada pekerja tambang. Semakin lama seorang
pekerja terpajan, maka risiko gangguan paru akan semakin meningkat jika tidak disertai dengan penerapan
K3 yang baik.14
Berdasarkan hasil data klinik di PT X didapatkan
penyakit pekerja adalah sesak napas, common cold, dan
flu. Penelitian tentang kesehatan pekerja di tambang batu
bara PT X perlu dilakukan agar dapat diketahui penyebab keluhan pekerja dan diharapkan dapat meminimalkan penyakit akibat kerja dan tujuan akhirnya dapat
meningkatkan produktivitas pekerja. Tujuan umum
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sif kerja, masa kerja, dan budaya K3 dengan fungsi paru pekerja tambang batu bara di PT X.
Metode
Desain studi yang digunakan pada penelitian ini
adalah kasus kontrol untuk mengamati variabel dependen, yaitu gangguan fungsi paru dan variabel independen, yaitu sif kerja, masa kerja, dan budaya K3. Pada
penelitian ini digunakan perbandingan kasus dan kontrol
adalah 1 : 1 sehingga jumlah kontrol sebanyak 178 orang.
Maka, jumlah sampel yang dibutuhkan pada penelitian
ini adalah 356 orang. Sampel diambil menggunakan
teknik simple random sampling. Sampel kelompok kasus
adalah seluruh pekerja tambang batu bara PT X bagian
produksi yang berjumlah 178 orang, sedangkan sampel
kelompok kontrol adalah karyawan bagian manajemen
kantor berjumlah 178 orang.
Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar isian
(data identitas dan kuesioner) dengan disertai persetujuan menjadi subjek penelitian, alat uji fungsi paru
(Spirometri) merek BLT-08 Spiro Pro Meter® dan
mouthpiece, timbangan berat badan untuk mengukur berat badan, dan meteran untuk mengukur tinggi badan.
Pengukuran menggunakan instrumen didampingi oleh
petugas medis dari pihak perusahaan. Kuesioner
dibagikan kepada responden untuk mengukur budaya K3
responden, kemudian fungsi paru responden diukur dengan menggunakan spirometri dan mouthpiece. Hasil
dikatakan normal jika besar volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama ≥ 80% dari kapasitas
fungsi paru dan dikatakan tidak normal jika < 80% dari
kapasitas fungsi paru. Sedangkan lembar isian digunakan
untuk mengetahui sif kerja dan masa kerja. Data dianalisis menggunakan uji kai kuadrat dengan alpha 95%, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik untuk
analisis multivariat dengan variabel sif kerja, masa kerja,
dan budaya K3. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Oktober – November 2014 di PT X.
Sholihah, Hanafi, Wanti, Bachri, Hadi, Analisis Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya K3 dengan Fungsi Paru
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 1, Agustus 2015
26
fungsi paru pekerja tambang batu bara sif siang ada yang
mengalami penurunan kapasitas fungsi paru di bawah nilai normal, yaitu FEV1 80%. Hal ini sesuai dengan
penelitian Hendryx and Melissa,15 membuktikan bahwa
risiko tinggi pekerja tambang batu bara terhadap terjadinya inflamasi yang menyebabkan risiko gangguan
fungsi paru. Dibuktikan oleh penelitian Sari Mumuya,16
pada tahun 2006 terhadap 299 laki-laki pekerja tambang
batu bara sif siang di Tanzania dengan nilai p = 0,04 (nilai p < 0,05) menunjukkan bahwa risiko bekerja di daerah pertambangan batu bara dapat menurunkan nilai
FEV1% 80.
Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat nilai kapasitas fungsi paru pekerja tambang batu bara sif malam
mengalami penurunan dibandingkan sif siang. Penurunan
kapasitas fungsi paru lebih banyak ditemukan pada
pekerja tambang batu bara sif malam. Sif malam menunjukkan penurunan FEV1%, Vmax50, Vmax25 lebih besar dibandingkan dengan sif pagi dan sif siang. Menurut
Zheng,10 sif malam merupakan sistem yang berlawanan
dengan ritme sirkadian. Kelainan pola tidur sebagai salah
satu bentuk gangguan ritme sirkadian yang dialami
pekerja sif memiliki konsekuensi patologis berupa peningkatan kadar sitokin proinflamasi dalam darah karena penurunan sistem kekebalan dan antioksidan dalam
tubuh. Hal ini didukung oleh penelitian Sholihah,17
Hasil
Hasil distribusi sif kerja, masa kerja, budaya K3 dan
fungsi paru pada pekerja tambang di PT X sinergi pada
Tabel 1. Tabel 1 memaparkan hasil berdasarkan analisis
univariat untuk mendapatkan distribusi fekuensi dari
masing-masing variabel independen (sif kerja, masa kerja, dan budaya K3) dan variabel dependen (gangguan
fungsi paru). Hasil penelitian menunjukkan kasus fungsi
paru tidak normal sebesar 57,9% meliputi obstruktif, restruktif maupun keduanya.
Tabel 2 menunjukkan hubungan antarvariabel independen dengan variabel dependen. Seluruh variabel
meliputi sif dan masa kerja, serta budaya 3 memiliki
hubungan yang bermakna secara statistik dengan nilai p
< 0,05. Variabel bebas yang berhubungan dengan variabel terikat (variabel sif kerja, masa kerja, dan budaya
K3) bersama dimasukkan dalam perhitungan uji regresi
logistik metode Enter. Sif kerja merupakan variabel bebas yang berpengaruh paling dominan dengan fungsi
paru (Tabel 3).
Pembahasan
Hasil penelitian dengan menggunakan uji kai kuadrat
menunjukkan terdapat hubungan antara sif kerja dan
fungsi paru pekerja tambang batu bara dikarenakan nilai
p < 0,05. Dalam penelitian ini, terdapat bahwa kapasitas
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen
Variabel Kategori Kasus Kontrol Total
Sif kerja Siang 98 (55,1%) 141 (79,2%) 239 (67,1%)
Malam 80 (44,9%) 37 (20,8%) 117 (32,9%)
Masa kerja <5 Tahun 118 (66,3%) 43 (24,2%) 161 (45,2%)
≥5 Tahun 60 (33,7%) 135 (75,8%) 195 (54,8%)
Budaya K3 Positif 108 (60,1%) 172 (96,6%) 280 (78,7%)
Negatif 70 (39,9%) 6 (3,4%) 76 (21,3%)
Fungsi paru Normal 75 (42,1%) 163 (91,6%) 238 (66,9%)
Tidak normal (obstruktif, 103 (57,9%) 15 (8,4%) 118 (33,1%)
restruktif, campuran)
Tabel 2. Analisis Bivariat Variabel Independen dengan Fungsi Paru
Variabel Kategori Kasus Kontrol Total OR 95% CI Nilai p
Sif kerja Siang 98 (55,1%) 141 (79,2%) 239 (67,1%) 6,326 0,044
Malam 80 (44,9%) 37 (20,8%) 117 (32,9%) 1,829-21,001
Masa kerja < 5 Tahun 118 (66,3%) 43 (24,2%) 161 (45,2%) 4,82 0,028
≥ 5 Tahun 60 (33,7%) 135 (75,8%) 195 (54,8%) 1,743-13,239
Budaya K3 Positif 108 (60,1%) 172 (96,6%) 280 (78,7%) 5,532 0,013
Negatif 70 (39,9%) 6 (3,4%) 76 (21,3%)
Tabel 3. Hasil Uji Multivariat Fungsi Paru
95% CI for EXP (B)
Variabel Bebas B Wald Sig Exp (B)
Lower Upper
Sif kerja 1,360 7,074 0,01 3,934 1,453 2,864
Masa kerja 0,893 2,899 0,076 2,454 0,786 7,567
Budaya K3 1,006 6,655 0,081 2,675 0,965 6,654
27
membuktikan bahwa dinding alveoli tikus wistar yang
dikondisikan sif malam mengalami penebalan lebih signifikan dibandingkan sif siang. Penurunan kapasitas
fungsi paru dapat disebabkan kondisi fisik individu
pekerja yang meliputi mekanisme pertahanan paru,
anatomi dan fisiologi saluran pernapasan serta faktor
imunologis.18 Dibuktikan oleh penelitian Siyoum,19 pada tahun 2014 di Etiopia dengan nilai p = 0,001 yang
menjelaskan bahwa gejala gangguan fungsi paru terjadi
lebih banyak pada pekerja sif malam dibandingkan dengan sif lainnya.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji kai kuadrat
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara masa
kerja dan fungsi paru pekerja tambang batu bara, dikarenakan nilai p > 0,05. Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Puspita dkk,20 mengenai pengaruh paparan
debu batu bara terhadap gangguan faal paru. Hasil analisis faktor risikonya menunjukkan bahwa masa kerja tidak
memiliki hubungan terhadap kejadian gangguan faal
paru. Dalam penelitian Baharuddin dkk,21 masa kerja 2
- 7 tahun dan 8 - 13 tahun juga tidak memiliki hubungan
dengan gangguan fungsi paru, baru pada masa kerja 14 -
20 tahun mulai terdapat hubungan dengan gangguan
fungsi paru. Beberapa penelitian melaporkan bahwa di
negara yang telah memiliki nilai ambang batas debu,
pneumokoniosis pada penambang batu bara biasanya
terjadi pada individu yang telah bekerja selama > 10
tahun atau paling sedikit 5 - 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti yang signifikan antara masa
kerja dengan fungsi paru. Jika masa kerja berhubungan,
diperlukan waktu paparan yang cukup lama untuk dapat
menimbulkan kelainan pada faal paru. Jumlah total suatu
zat yang diabsorsi di paru-paru bukan hanya tergantung
pada lamanya seseorang terpapar dengan debu saja, namun perlu diperhitungkan sifat-sifat kimia dan fisik dari
debu itu sendiri yang terhirup oleh pekerja.22
Penurunan fungsi paru tidak hanya disebabkan oleh
faktor pekerjaan maupun lingkungan kerja, tetapi juga
terdapat sejumlah faktor nonpekerjaan yang dapat menjadi faktor yang memengaruhi maupun menjadi variabel
pengganggu. Hal-hal yang dapat memengaruhi seperti
usia, jenis kelamin, kelompok etnis, tinggi badan, kebiasaan merokok, suhu lingkungan, penggunaan alat pelindung diri, metode pengolahan serta jumlah jam kerja/jam
giliran kerja (sif kerja).23
Faktor lain dalam penelitian ini yang menyebabkan
masa kerja menjadi tidak berhubungan dengan fungsi
paru adalah kadar debu. Pada penelitian ini, kadar debu
batu bara merupakan faktor pengganggu yang tidak dapat dikendalikan karena setiap hari semua pekerja tambang batu bara di bagian produksi berkontak langsung
dengan debu batu bara.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan
antara budaya K3 dan fungsi paru pekerja tambang batu
bara dikarenakan nilai p > 0,05. Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Duma
dkk,1 yang mendesain modul menuju selamat sehat sebagai metode dan media penyuluhan K3 yang efektif
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku K3 (budaya K3) serta tenaga kerja inovatif dalam pengendalian
gangguan kesehatan. Hasil penelitian menyatakan penyuluhan K3 dalam penerapannya selama satu tahun efektif
meningkatkan pengetahuan dan sikap budaya K3, namun belum efektif meningkatkan kesehatan pekerja.
Berdasarkan hasil observasi di PT X, Rantau, Kalimantan
Selatan, nilai ambang batas debu tidak diketahui.
Manajemen perusahaan tambang batu bara hanya menyatakan secara lisan bahwa nilai ambang batas debu dalam
keadaan normal.24 Kadar debu lebih dari 350 mg/m3
udara/hari (OR = 2,8; 95% CI = 1,8 - 9,9) merupakan
salah satu faktor intrinsik yang terbukti berhubungan
dengan penurunan kapasitas paru.6
Berdasarkan kepustakaan, debu yang berukuran antara 5 - 10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, yang berukuran
antara 3 - 5 mikron tertahan atau tertimbun pada saluran
napas tengah. Partikel debu dengan ukuran 1 - 3 mikron
disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan atau tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli.25
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan sif
kerja, masa kerja, dan budaya K3 dengan fungsi paru
pekerja tambang batu bara PT X di Kalimantan Selatan.
Daftar Pustaka
1. Duma K, Husodo AH, Soebijanto, Maurits LS. Modul menuju selamat
sehat: inovasi penyuluhan kesehatan dan kesehatan kerja dalam
pengendalian kelelahan kerja. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
2011; 14 (4): 213-23.
2. Rikmiarif DE, Pawenang ET, Cahyati WH. Hubungan pemakaian alat
pelindung pernafasan dengan tingkat kapasistas vital paru. Unnes
Journal of Public Health. 2012; 1 (1): 12-7.
3. Hermanus MA. Occupational health and safety in mining–status, New
developments, and concerns. The Journal of the Southern African
Institute of Mining and Metalurgy. 2007; 107: 531-8.
4. Susanto AD. Pnemokoniosis: artikel pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan. Journal of Indonesian Medical Association. 2011;
61: 503-10.
5. ILO [homepage in internet]. The prevention of occupational diseases.
World day for safety and health at work. 2013 [cited 2014 Dec 5].
Available from: http://www.ilo.org/safework/events/meetings/
WCMS_204594/lang—en/index.htm
6. Meita AC. Hubungan paparan debu dengan kapasitas vital paru pada
pekerja penyapu Pasar Johar Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2012; 1 (2): 654-62.
7. Susilowati IH, Syaaf RZ, Satrya C, Hendra, Baiduri. Pekerjaan, nonSholihah, Hanafi, Wanti, Bachri, Hadi, Analisis Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya K3 dengan Fungsi Paru
Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 1, Agustus 2015
28
Occupational Medicine. 2007; 36 (2): 299-306.
17. Sholihah Q. Melatonin lowers levels of SOD and number of inflammatory cells BAL wistar strain mice wearing mask PPE, sub acute exposed
by coal dust day and night. Journal Applied Environment Biological
Science. 2012; 2 (12): 652-7.
18. Raju AE, Hansi K, Sayaad R. A Study on pulmonary function tests in
coal mine workers in Khammam District India. International Journal
Physioter Respiratory Research. 2014; 2 (3): 502-6.
19. Siyoum K, Alemu K, Kifle M. Respiratory symptoms and associated factors among cement workers and civil servants in North Shoa, Oromia
Regional State, North West Ethiopia: Comarative Cross Sectional Study.
Journal Health Affairs. 2014; 2: 74-8.
20. Puspita CG. Paparan debu batubara terhadap gangguan faal paru pada
pekerja kontrak bagian coal handling PT. PJB Unit Pembangkit Paiton
[skripsi]. Jember: Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan
Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember;
2011.
21. Baharudin S, Roestam AW, Yunus F, Ikhsan M, Kekalih A. Analisis hasil
spirometri karyawan PT. X yang terpapar debu di area penambangan
dan pemrosesan nikel. Jakarta: Departemen Pilmonologi dan Ilmu kedokteran Respirasi Fakulta Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
22. Komendong DJWM, Ratu JAM, Kawatu PAT. Hubungan antara lama paparan dengan kapasitas paru tenaga kerja industri mebel di CV. Sinar
Mandiri Kota Bitung. Jurnal Kesmas Universitas Sam Ratulangi. 2012;
1 (1): 5-10.
23. Kurniawidjaja LM. Program perlindungan kesehatan respirasi di tempat
kerja manajemen risiko penyakit paru akibat kerja. Jurnal Respirologi
Indonesia. 2010; 30 (4); 217-29.
24. PT. Hasnur Riung Sinerga. Profil dan gambaran men power di PT.
Hasnur Riung Sinergi Site BRE. Rantau, Kalimantan Selatan: PT Hasnur
Riung Sinergi; 2014.
25. Sholihah Q, Ratna S, Laily K. Pajanan debu batubara dan gangguan pernafasan pada pekerja lapangan tambang batubara. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. 2008; 4 (2): 291-311.
pekerjaan, dan psikologi sebagai penyebab kelelahan operator alat Berat
di industri pertambangan batubara. Kesmas: Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 2013; 8 (2): 91-6.
8. Kaligis RSV, Sompie BF, Tjakra J, Walangitan DRO. Pengaruh implementasi program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap produktivitas kerja. Jurnal Sipil Statik. 2013; 1 (3) : 219-25.
9. Siyoum K, Alemu K, Kifle M. Respiratory symptoms and associated factors among cement workers and civil servants In North Shoa, Oromia
regional state, North West Ethiopia: comarative cross sectional study.
Journal Health Affairs. 2014; 2 (4): 74 - 8.
10. Zheng H, Patel M, Hryniewicz K, Katz SD. Association of extended shift
work, vascular fuction and inflammatory markers in internal medicine
resident: a randomized control trial. JAMA. 2006; 296 (9): 1049-54.
11. Kandung RPB. Hubungan antara karakteristik pekerja dan pemakaian
alat pelindung pernapasan (masker) dengan kapasitas fungsi paru pada
pekerja wanita bagian pengempelasan di Industri Mebel “X” Wonogiri.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 2 (1).
12. Putra DP, Rahmatullah P, Novitasari A. Hubungan usia, lama kerja, dan
kebiasaan merokok dengan fungsi paru pada juru parkir di Jalan
Pandanaran Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah. 2012; 1 (3):
7-12.
13. Cahyana A. Faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi
paru pada pekerja tambang batubara PT. Indominco Mandiri
Kalimantan Timur Tahun 2012 [research article]. Makassar: Bagian
Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin, 2012.
14. National Institute for Occupational Safety and Health . Coal mine dust
exposures and associated health outcomes. NIOSH [online]; 2011 [cited 2015 Jan 4]. Available from: www.cdc.gov/niosh/docs/2011-
172/pdfs/2011-172.pdf.
15. Hendryx M, Melissa M. Relations between health indicators and residential proximity to coal mining in West Virginia. American Journal of
Public Health. 2008; 98 (4): 668-71.
16. Mumuya SHD, Bratveit M, Mashalla YJ, Moen BE. Airflow limitation