Sebelumnya kami diberikan tugas oleh kakak pembimbing kami. Tugas yang diberikan beraneka ragam, mulai dari membuat makalah, laporan, hingga makanan. Saya salah satu bagian dari kelompok kesehatan lingkungan, melakukan kesalahan kelompok karena menunda waktu mengumpulkan makalah 7 bidang kesehatan masyarakat dan laporan indepth. Alasan kami terlambat mengumpulkan makalah 7 bidang kesehatan masyarakat dikarenakan miscommunication pada anggota satu dengan lainnya. Beberapa topik di dalam makalah 7 bidang kesehatan masyarakat belum terselesaikan karena anggota yang mendapatkan bagian tersebut belum memberikan kepada ketua sebelum waktu yang ditentukan. Sedangkan alasan kami terlambat mengumpulkan laporan indepth dikarenakan kesalah pahaman informasi yang didapat oleh kami dan beberapa kelompok lainnya mengenai batas waktu pengumpulan makalah. Kami mendapatkan informasi bahwa laporan indepth tersebut terakhir dikumpulkan pada hari minggu pukul 22.00 WIB, sebelumnya kami telah menyelesaikan laporan tersebut dan telah dikirimkan kepada kakak PK kami melalui email. Hanya saja pada hari minggu kami tidak membawa laporan tersebut dalam bentuk hard file. Dan karena itu kami mendapat sanksi berupa melakukan swafoto dengan para panitia BTOPH 2017 dengan ketentuan minimal 3 panitia dengan waktu yang berbeda-beda.
Pada foto pertama pada hari Selasa tanggal 18 September sekitar pukul 07.30 kami akan berfoto dengan Mba Maylinda atau yang akrab disapa Mba May yabg merupakan salah satu panitia BTOPH 2017 dari Tim Horey. Sebelum itu kami memang membuat janji terlebih dahulu. Pagi itu kami bersiap dan akhirnya kami berhasil berfoto bersama dengan Mba May dengan mengambil lokasi di lobby kesehatan masyarakat.
Sekitar 15 menit setelah berfoto dengan Mba May kita tidak sengaja bertemu dengan Mas Kinaryo yang juga merupakan panitia BTOPH 2017. Tanpa persiapan kami mencoba mengajak Mas Kinaryo berfoto bersama dan Alhamdulillah Mas Kinaryo berkenan untuk kita ajak foto bersama dan jadilah kita foto bersama dengan mengambil lokasi yang sama dengan foto pertama.
Kemudian, pada sekitar jam 10 kami berfoto dengan Mas Gianaj yang juga panitia BTOPH 2017. Mas Gianaj sangat ramah walaupun ini merupakan foto yang kedua kalinya karena saat foto pertama kita tidak lengkap. Kita mengambil foto bersama bertempat di lapangan kesehatan masyarakat.
Sekian dari saya, kurang lebihnya kami mohon maaf. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mba mas yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas kami. Sekian dan terimakasih.
Rabu, 20 September 2017
Minggu, 17 September 2017
Biografi tentang tokoh kesehatan masyarakat
Nama | dr. I PUTU BUDHIASTRA, Sp.M |
NIDN/NUP | 0008055407 |
Perguruan Tinggi | Universitas Udayana |
Program Studi | Ilmu Kesehatan Mata Sp-1 |
Jenis Kelamin | Laki-laki |
Jabatan Fungsional | LEKTOR KEPALA |
Pendidikan Tertinggi | Sp-1 |
Status Ikatan Kerja | DOSEN TETAP |
Status Aktivitas | AKTIF MENGAJAR |
REVIEW MATERI BToPH 2017
MATERI MIRACLE
Dengan adanya Basic Training of
Public Health (BtoPH) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Keluarga
Besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat (HIMA KMBKM), Dosen FIKes Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Sc. Hum. Budi Aji, SKM, M.Sc. menyampaikan materi
di hadapan ratusan mahasiswa baru kesehatan masyarakat unsoed tahun ajaran
2017/2018, Sabtu (16/9/2017). Kuliah yang diselenggarakan di ruang kuliah 4
gedung kesehatan masyarakat unsoed tersebut mengangkat materi dasar kesehatan masyarakat.
Dalam kuliahnya, Pak Budi
menerangkan bahwa ilmu kesehatan masyarakat itu merupakan kombinasi dari ilmu
pengetahuan, keterampilan, etika dan moral yang bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan dan memperpanjang usia semua orang melalui tindakan kolektif
yang terorganisir. Ilmu kesehatan masyarakat juga bertujuan untuk mencegah
penyakit dan memenuhi seluruh kebutuhan dalam kesehatan dengan memenuhi
strategi pemberdayaan masyarakat untuk hidup secara mandiri.
“Ahli kesehatan masyarakat itu harus
dapat membuat masyarakat berdaya, bukan tergantung karena yang kita ciptakan
adalah masyarakat mampu hidup sehat. Seorang ahli kesehatan masyarakat juga
harus mampu bekerja dalam tim, bekerja kolektif dan multi sektor,” jelas Pak
Budi.
Terdapat beberapa fungsi ilmu
kesehatan masyarakat, yaitu mengkaji dan memantau masalah kesehatan di
masyarakat atau kelompok berisiko dalam upaya mengidentifikasi masalah dan
menetapkan prioritas masalah, memformulasikan kebijakan kesehatan, dan menjamin
agar masyarakat memiliki akses yang tepat terhadap pelayanan yang cost
effective.
Lebih lanjut, sebagai gambaran
profesi kesehatan masyarakat, Agustin memaparkan bahwa profil ahli kesmas harus
menjadi “MIRACLE” yang merupakan singkatan dari Manager (manajer) yaitu manajer
sebagai pengelola kesehatan, Innovator (pembaharu) yaitu sebagai penemu
pembaharuan ide, Researcher (peneliti) yaitu sebagai peneliti kesehatan,
Apprenticer (mampu belajar dalam tim dan mampu bekerja cepat), Communitarian
(merakyat) yaitu sebagai manusia yang selalu komunikasi dengan masyarakat,
Leader (pemimpin) yaitu sebagai pemimpin dan Educator (pendidik) yaitu sebagai
pembimbing yang dapat mendidik masyarakat dengan masalah-masalah kesehatan yang
terjadi. Untuk bisa menjadi Miracle, seorang ahli kesmas harus mempunyai basic
public health skills yang didapatkan pada saat kemarin yaitu kegiatan
acara basic training of public health.
Beberapa keahlian yang harus
dimiliki di antaranya analysis and assessment, policy
development and program planning, communication skill, cultural
competency, community dimension of practice, public
health sciences, financial planning and management,
dan leadership and system thinking.
Dalam kuliahnya, Pak Budi juga
berpesan kepada seluruh mahasiswa baru untuk berprestasi tidak hanya dalam
pencapaian nilai yang baik namun juga mengikuti kegiatan di luar tanggung jawab
akademik seperti organisasi dan unit kegiatan mahasiswa lainnya yang telah
didukung penuh oleh Kepala Jurusan Kesehatan Masyarakat Unsoed karena
organisasi dapat mengajarkan kepemimpinan.
Dalam ilmu kesehatan masyarakat,
terdapat graphical model of public health yang harus
diketahui oleh mahasiswa dimana terdapat empat tools utama yaitu biostatistic, epidemiology, social
and behavioral science dan health policy and management.
Terdapat pula 2 susbtansi yang melingkupinya yaitu Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), dan kesehatan lingkungan. Public Health itu system
thinking dan kemampuan kesehatan masyarakat unsoed itu meneliti
sehingga pada dasarnya setiap ahli kesmas harus menguasai semuanya.
Selain itu, ia juga menekankan
mengenai soft skill yang juga penting dikuasai oleh ahli kesmas yaitu proactive (bergerak
tanpa menunggu masalah), care (peduli terhadap masalah)
dan social enterpreneur (menjadi engine untuk menggerakkan
kesehatan masyarakat).
Oleh karena itu, Harapan dimasa depan setiap lulusan
Kesehatan Masyarakat dapat menjadi keajaiban. Diharapkan seorang sarjana
kesehatan masyarakat memiliki karakter MIRACLE.
MATERI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Materi ini disampaikan oleh alumni
kita sendiri yaitu mas Raditya Pradipta, SKM. Beliau adalah lulusan kesehatan
masyarakat tahun 2007. Materi ini juga sama yaitu diselenggarakan pada Sabtu
(16/9/2017). Kuliah yang diselenggarakan di ruang kuliah 4 gedung kesehatan
masyarakat unsoed tersebut mengangkat materi tentang pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan
pemberdayaan merupakan suatu siklus kegiatan sebagai berikut:
v Keinginan untuk
Berubah
v Kemauan dan
Keberanian untuk Berubah
v Kemauan untuk
Berpartisipasi
v Peningkatan
Partisipasi
v Tumbuhnya Motivasi
Baru untuk Berubah
v Peningkatan
Efektivitas dan Efisensi Pemberdayaan
v Tumbuhnya
Kompetensi untuk Berubah
Pertama,
menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk penyadaran dan memperbaiki,
yang memerlukan titik awal perlunya pemberdayaan. Tanpa adanya keinginan untuk
berubah dan mempernaiki, maka semua upaya pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan tidak akan memperoleh perhatian, simpati atau partisipasi masyarakat
Kedua,
menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari
kesenangan/kenikmatan dan hambatan-hambatan yang dirasakan, untuk kemudian
mengambil keputusan mengikuti pemberdayaan demi terwujudnya perubahan dan
perbaikan yang diharapkan
Ketiga,
mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian dalam kegiatan
pemberdayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan
Keempat,
peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang telah
dirasakaan manfaat/perbaikannya
Kelima,
peningkatan peran pada kegiatan pemberdayaan, yang ditunjukkan berkembangnya
motivasi-motivasi untuk melakukan perubahan
Keenam,
peningkatan efektifitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan
Ketujuh,
peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan baru
Ada
juga paradigma lain yang mengemukakan bahwa paling tidak tahapan kegiatan
pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam 7 (tujuh) kegiatan:
Penyadaran, yaitu
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang
“keberadaanya”, baik keberadaanya sebagai individu dan anggota masyarakat,
maupun kondisi lingkunganya yang menyangkut linkungan fisik/teknis,
sosial-budaya, ekonomi, dan politik.
Menunjukkan,
adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak diinginkan yang kaitannya dengan :
keadaan sumberdaya (alam, manusia sarana-prasarana, kelembagaan, budaya, dan
aksebilitas), lingkungan fisik/ teknis, sosial-budaya, dan politis.
Membantu
pemecahan masalah,analisis akar-masalah analisis alternatif pemecahan masalah,
serta pilihan alternatif pemecahan terbaik yang dapat dilakukan sesuai kondisi
internal (kekuatan, kelemahan) maupun kondisi eksternal (peluang, ancaman) yang
dihadapi.
Menunjukkan
pentingnya perubahan, yang akan dan sedang terjadi dilingkungannya, baik
lingkungan organisasi dan masyarakat (lokal, nasional, regional, dan global).
Melakukan
pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi perubahan terencana
yang berhasil dirumuskan.
Memproduksi
dan pubilkasi informasi, baik yang berasal dari “luar” (penelitian, kebijakan,
produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam (pengalaman,
indegenuous technology, maupun kearifan tradisional dan nilai-nilai adat yang
lain).
Melaksanakan
pemberdayaan/atau penguatan kapasitas, yaitu pemberian kesempatan pada kelompok
lapisan bawah (grassroot) untuk bersuara dan menentukan sendiri
pilihan-pilihannya (voice and choice) kaitannya dengan : aksesibilitas
informasi, keterlibatan dala pemenuhan kebutuhan, serta partisipasi dalam
keseluruhan proses pembangunan, bertanggung-gugat (akuntabilitas public), dan
penguatan kapasitas local.
Adapun
prinsip pemberdayaan masyarakat yaitu Comunity Development dan Comunity
Organizer.
Langkah
Pemberdayaan Masyakarat terdiri dari beberapa tahapan. Persiapan,
pengkajian(assesment), perencanaan, pelaksaan, dan monitoring dan evaluasi.
Penyuluhan
Kesehatan yang ia jelaskan yaitu:
1.
Kenali
sasaran
§ Jenis Kelamin
§ Pendidikan
§ Usia
§ Budaya
2.
Kuasai
materi
§ Isi materi
§ Alat dan bahan
interaktif
3.
Rencana
kegiatan
§ Bina suasana
§ Metode
§ Tindak lanjut
Dan
yang terakhir beliau memberikan tips untuk kami semua. Pertama,
Interaktif/Diskusi dalam suatu forum. Kedua, Kuasai masalah/materi yang akan
dibicarakan dalam forum tersebut. Dan yang terakhir modifikasi kegiatan supaya
kegiatan tersebut kondusif dan menarik untuk dibicarakan.
MATERI ADVOKASI
Dengan adanya Basic Training of
Public Health (BtoPH) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Keluarga
Besar Mahasiswa Kesehatan Masyarakat (HIMA KMBKM), Mahasiswa Fakultas Hukum
tahun 2013 menyampaikan materi di hadapan ratusan mahasiswa baru kesehatan
masyarakat unsoed tahun ajaran 2017/2018, Sabtu (16/9/2017). Kuliah yang
diselenggarakan di ruang kuliah 4 gedung kesehatan masyarakat unsoed tersebut
mengangkat materi advokasi di sekitar kampus.
Apa itu
advokasi?
Beliau berkata advokasi itu sebuah gerakan atau aksi untuk menuntut hak
yang seharusnya dan untuk mewujudkan itu harus adanya perubahan dengan
tahapan-tahapan atau biasa di bilang prosedur. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
advokasi berarti pembelaan. Advokasi berasal dari bahasa Ingris, to advocate yang berarti “membela” (to defend). Bisa juga berarti “menyokong”,
“memajukan”, “menganjurkan”, ‘mengemukakan’ (to promote), atau juga
berarti melakukan ’ perubahan’ (to change).
Advokasi berarti suatu cara yang cermat, terencana, dan terorganisir untuk
melakukan pembelaan ataupun mendorong suatu perubahan. Jadi tujuan dari
advokasi adalah perubahan yang luas terkait kebijakan sehingga masyarakat
banyak dapat merasakan manfaatnya. Hanya mengandalkan demonstrasi bukanlah
advokasi. Perlu diingat advokasi bukanlah milik advokat ataupun aktivis-aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mahasiswa juga mampu melakukan advokasi,
bahkan bisa melebihi apa yang dilakukan oleh LSM.
Untuk
Beberapa
contoh konkrit advokasi mahasiswa yang muncul ke permukaan:
1. Perjuangan membatalkan UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Advokasi
menolak UU Badan Hukum Pendidikan dimulai oleh rekan-rekan BEM UI semenjak
tahun 2006. Pusgerak BEM UI melakukan kajian yang komprehensif terkait sistem
pendidikan yang akan dibawa mengarah ke liberalisasi pendidikan dengan
disahkannya UU BHP. Pasca pengesahan UU BHP gerakan kemudian meluas melibatkan
elemen masyarakat, guru, mahasiswa, akademisi dan LSM. Rencana advokasi
dirumuskan bersama dan kegiatan advokasi dilaksanakan secara terus menerus
hingga Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP tersebut karena Mahkamah menerima
permohonan dari berbagai koalisi yang menolak UU BHP. Beberapa pemohon pembatalan
adalah mahasiswa.
2. Pencurian pulsa oleh content provider dan operator seluler.
Advokasi ini
dilakukan oleh Lisuma Indonesia dan Lisuma Jakarta. Lisuma berhasil mengajak
masyarakat, media, akademisi, LSM, praktisi, dan pemerintah untuk memperhatikan
permasalahan pencurian pulsa yang dilakukan oleh content providerdan operator seluler. Advokasi
dilaksanakan secara terus menerus, berbagai kampanye dilakukan, pembuatan
posko, demonstrasi, dll. Walaupun belum memenuhi kepuasan konsumen sepenuhnya,
dari advokasi muncul kebijakan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
yaitu 1) BRTI akan menyampaikan data yang diduga merugikan konsumen terkait
penyedotan pulsa melalui sms premium kepada Polri, untuk diteliti secara hukum;
2) BRTI akan menjaga ketat hubungan bisnis antara operator dan penyedia konten
dalam memberikan layanan pesan premium; 3) BRTI juga akan merancang sistem
aplikasi untuk memudahkan masyarakat, yang tidak menginginkan pesan premium
akan segera dibuat; 4) Jika ditemukan penyedia konten yang melakukan
pelanggaran, maka BRTI akan menemui operator seluler agar penyedia konten
segera diberhentikan dan diumumkan ke publik 5) BRTI dan operator seluler akan
membuat iklan layanan masyarakat secara masif yang menginformasikan nomor
pengaduan.
Ada berbagai
advokasi yang menurut hemat penulis dapat dilakukan oleh mahasiswa saat ini,
yaitu:
1. RUU Pendidikan Tinggi dan kebijakan
akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu.
2. RUU Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Pembangunan.
3. Kasus Korupsi (Pelemahan KPK lewat RUU
KPK, Kasus Century, Nazarudin, Kemenakertrans, dll)
4. Berbagai kasus konsumen, lingkungan,
hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, akses masyarakat miskin terhadap
pelayanan publik, dll
5. Privatisasi Air di Indonesia,
khususnya Jakarta yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar 18 Triliun
rupiah.
6. Dll (mahasiswa harus mampu menemukan
sendiri hal yang akan diadvokasinya).
Jika
advokasi selalu gagal karena rezimnya bermasalah, maka gantilah rezimnya.
Sabtu, 16 September 2017
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
Korespondensi:
Qomariyatus Sholihah, Departemen K3 IKM FK Universitas
Lambung
Mangkurat, Jl. A. Yani Km 36,3 Banjarbaru 70714 Kalimantan
Selatan,
No. Telp: 05114772747, email: qoqom_kuncoro@yahoo.co.nz
Abstrak
Penambangan
batu bara merupakan salah satu sumber pencemaran udaraberupa partikel debu batu
bara yang dapat mengganggu kesehatan pernapasan bila terhirup manusia. Risiko
kerja yang sering terjadi dapat berasaldari faktor pekerjaan atau perilaku
pekerja sendiri, di antaranya sif kerja dan
masa
kerja. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan sif kerja, masa
kerja, dan budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) denganfungsi paru
pekerja tambang batu bara. Penelitian ini merupakan desain kasus kontrol dengan
jumlah masing-masing sampel untuk kasus dan kontrol
ebesar
178 responden. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober -
November
2014 di PT. X Kalimantan Selatan. Hasil penelitian berdasarkan
uji
kai kuadrat, didapatkan nilai p = 0,044 untuk sif kerja, 0,028 untuk masa
kerja,
dan 0,013 untuk budaya K3. Berdasarkan hasil uji regresi logistik, didapatkan
nilai p sif kerja 0,01 dengan OR = 3,934. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara sif kerja dengan fungsi paru, dan tidak terdapat hubungan
antara masa kerja dan budaya K3 dengan fungsi paru. Sif
kerja
merupakan variabel independen yang paling dominan memengaruhi
fungsi
paru.
Kata
kunci: Fungsi paru, keselamatan dan kesehatan kerja, masa kerja, sif
kerja
Abstract
Coal
mining is one source of air pollution caused in form of coal dust particle that
may interfere with health of breathing if inhaled by human.Occupational risks
often occurred may come from occupational factor orworker’s behavior itself,
ones of which are work shift and work period. Thisstudy aimed to determine
relations of work shift, work period and occupational health and safety (OHS)
culture with lung function of coal miningworker. This study was control case
design with each amount of sample forcase and control was 178 respondents. The
study was conducted onOctober – November 2014 at PT X in South Kalimantan.
Results based on
chi-square
test showed p value = 0.044 for work shift, 0.028 for working period and 0.013
for OHS culture. Based on logistic regression test results, p
value
for work shift was 0.01 with OR = 3.934. As a conclusion, there is a
relation
between work shift with lung function and no relation between working period
and OHS culture with lung function. Work shift is an independent
variable
most dominantly influencing the lung function.
Keywords:
Lung function, occupational health and safety, working period,
work
shift
Pendahuluan
Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan
suatu
upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang
aman,
nyaman, dan tujuan akhirnya adalah menciptakan
produktivitas
setinggi-tingginya. K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang
pekerjaan tanpa kecuali.
Pelaksanaan
K3 dapat mengurangi kecelakaan kerja sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas
kerja.1
Penambangan
batu bara merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang dihasilkan dari
partikel debu
batu
bara. Partikel debu tersebut dapat menyebabkan
gangguan
pernapasan bila terhirup manusia. Risiko kerja yang sering terjadi dan banyak
menimbulkan kerugian
adalah
penyakit paru kerja yang timbul akibat pajanan
debu
batu bara dalam jangka waktu lama, yaitu
pnemokoniosis,
bronkitis kronis, dan asma kerja.2,3
Setiap
tahun di seluruh dunia, dua juta orang mengalami penyakit akibat kerja. Dari
jumlah tersebut, terdapat 40.000 kasus baru pneumokoniosis.4 Menurut
Analisis
Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya Keselamatan
dan
Kesehatan Kerja dengan Fungsi Paru Pekerja
Tambang
Batu Bara
Analysis
of Work Shift, Working Period, and Occupational Health and
Safety
Culture with Lung Function of Coal Mine Workers
Qomariyatus
Sholihah*, Aprizal Satria Hanafi**, Wanti***, Ahmad Alim Bachri****, Sutarto
Hadi*****
*Departemen
K3 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung
Mangkurat, Indonesia,
**Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat,
Indonesia,
***Politeknik
Kesehatan Kupang, Indonesia, ****Fakultas Ekonomi, Universitas Lambung
Mangkurat, Indonesia,
*****Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
25
International
Labor Organization (ILO) tahun 2013,2,34 juta orang meninggal setiap tahunnya
karenapenyakit akibat kerja. Di Jepang, pada tahun 2011, salahsatu penyakit
akibat kerja yang paling besar angkanyaadalah pneumokoniasis, sama halnya
dengan di Inggris.5Angka sakit di Indonesia mencapai 70% dari pekerjayang
terpapar debu tinggi. Sebagian besar penyakit paruakibat kerja memiliki akibat
yang serius, yaitu terjadinyagangguan fungsi paru dengan gejala utama yaitu
sesaknapas.6Kejadian penyakit akibat kerja tersebut diperkirakan
akibat
dari faktor ekstrinsik seperti faktor lingkungan
dan
faktor perusahaan serta faktor intrinstik seperti perilaku, sikap, dan
kedisiplinan.7 Penerapan implementasi
program
K3 akan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap
peningkatan produktivitas kerja.8
Salah
satu faktor yang menyebabkan gangguan fungsi
paru
adalah sif kerja. Pekerja tambang batu bara memiliki waktu sif siang (pagi,
siang, sore) dan sif malam.
Permasalahan
lebih banyak terjadi pada pekerja sif
malam
karena irama faal tubuh manusia yang tidak dapat menyesuaikan kerja malam dan
tidur.9 Kerja sif
malam
merupakan sistem yang berlawanan dengan irama
sirkadian.
Kelainan pola tidur sebagai salah satu bentuk
gangguan
irama sirkadian yang dialami pekerja sif memiliki konsekuensi patologis berupa
peningkatan kadar
sitokin
proinflamasi dalam darah karena penurunan sistem kekebalan dan antioksidan
dalam tubuh.10
Penyakit
pernapasan tidak hanya disebabkan oleh
debu
saja, melainkan dari karakteristik individu seperti
masa
kerja yang terkait dengan tingkat pajanan. Masa
kerja
penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah terpajan dengan debu
lingkungan. Selain itu,
kebiasaan
merokok juga merupakan salah satu kebiasaan buruk yang dapat mengganggu
kesehatan pekerja. Seorang perokok memiliki risiko kematian 20 kali
lebih
besar akibat kanker paru dibandingkan yang
bukan
perokok.11 Seseorang yang semakin lama bekerja pada tempat yang mengandung
debu, akan semakin
tinggi
risiko untuk terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran
pernapasan.12 Penelitian yang dilakukan pada pekerja tambang batu bara di
Kalimantan
Timur
tahun 2012 diperoleh sebanyak 45,1% yang
mengalami
gangguan fungsi paru obstruktif dengan
masa
kerja > 5 tahun dan 16,7% yang masa kerjanya <
5
tahun.13 Menurut Kaligis,8 implementasi program K3
akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan
produktivitas kerja. Impelementasi K3
mampu
mengurangi angka kecelakaan kerja sehingga
pekerja
dapat bekerja dengan lebih baik dan mengurangi angka absensi kerja akibat
kecelakaan kerja atau
penyakit
akibat kerja.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari audit internal
PT
X tahun 2014, kadar debu di bagian produksi mencapai 4,8 mg/m3. Sedangkan
menurut National Institute
of
Occupational Safety and Health (NIOSH) tahun 2011,
nilai
ambang batas untuk debu batu bara adalah 2
mg/m3.
Debu tersebut akan meningkatkan risiko gangguan paru pada pekerja tambang.
Semakin lama seorang
pekerja
terpajan, maka risiko gangguan paru akan semakin meningkat jika tidak disertai
dengan penerapan
K3
yang baik.14
Berdasarkan
hasil data klinik di PT X didapatkan
penyakit
pekerja adalah sesak napas, common cold, dan
flu.
Penelitian tentang kesehatan pekerja di tambang batu
bara
PT X perlu dilakukan agar dapat diketahui penyebab keluhan pekerja dan
diharapkan dapat meminimalkan penyakit akibat kerja dan tujuan akhirnya dapat
meningkatkan
produktivitas pekerja. Tujuan umum
penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan sif kerja, masa kerja, dan budaya K3
dengan fungsi paru pekerja tambang batu bara di PT X.
Metode
Desain
studi yang digunakan pada penelitian ini
adalah
kasus kontrol untuk mengamati variabel dependen, yaitu gangguan fungsi paru dan
variabel independen, yaitu sif kerja, masa kerja, dan budaya K3. Pada
penelitian
ini digunakan perbandingan kasus dan kontrol
adalah
1 : 1 sehingga jumlah kontrol sebanyak 178 orang.
Maka,
jumlah sampel yang dibutuhkan pada penelitian
ini
adalah 356 orang. Sampel diambil menggunakan
teknik
simple random sampling. Sampel kelompok kasus
adalah
seluruh pekerja tambang batu bara PT X bagian
produksi
yang berjumlah 178 orang, sedangkan sampel
kelompok
kontrol adalah karyawan bagian manajemen
kantor
berjumlah 178 orang.
Instrumen
dalam penelitian ini adalah lembar isian
(data
identitas dan kuesioner) dengan disertai persetujuan menjadi subjek penelitian,
alat uji fungsi paru
(Spirometri)
merek BLT-08 Spiro Pro Meter® dan
mouthpiece,
timbangan berat badan untuk mengukur berat badan, dan meteran untuk mengukur
tinggi badan.
Pengukuran
menggunakan instrumen didampingi oleh
petugas
medis dari pihak perusahaan. Kuesioner
dibagikan
kepada responden untuk mengukur budaya K3
responden,
kemudian fungsi paru responden diukur dengan menggunakan spirometri dan
mouthpiece. Hasil
dikatakan
normal jika besar volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama ≥ 80%
dari kapasitas
fungsi
paru dan dikatakan tidak normal jika < 80% dari
kapasitas
fungsi paru. Sedangkan lembar isian digunakan
untuk
mengetahui sif kerja dan masa kerja. Data dianalisis menggunakan uji kai
kuadrat dengan alpha 95%, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik
untuk
analisis
multivariat dengan variabel sif kerja, masa kerja,
dan
budaya K3. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Oktober
– November 2014 di PT X.
Sholihah,
Hanafi, Wanti, Bachri, Hadi, Analisis Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya K3
dengan Fungsi Paru
Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 1, Agustus 2015
26
fungsi
paru pekerja tambang batu bara sif siang ada yang
mengalami
penurunan kapasitas fungsi paru di bawah nilai normal, yaitu FEV1 80%. Hal ini
sesuai dengan
penelitian
Hendryx and Melissa,15 membuktikan bahwa
risiko
tinggi pekerja tambang batu bara terhadap terjadinya inflamasi yang menyebabkan
risiko gangguan
fungsi
paru. Dibuktikan oleh penelitian Sari Mumuya,16
pada
tahun 2006 terhadap 299 laki-laki pekerja tambang
batu
bara sif siang di Tanzania dengan nilai p = 0,04 (nilai p < 0,05)
menunjukkan bahwa risiko bekerja di daerah pertambangan batu bara dapat menurunkan
nilai
FEV1%
80.
Berdasarkan
data yang diperoleh, terdapat nilai kapasitas fungsi paru pekerja tambang batu
bara sif malam
mengalami
penurunan dibandingkan sif siang. Penurunan
kapasitas
fungsi paru lebih banyak ditemukan pada
pekerja
tambang batu bara sif malam. Sif malam menunjukkan penurunan FEV1%, Vmax50,
Vmax25 lebih besar dibandingkan dengan sif pagi dan sif siang. Menurut
Zheng,10
sif malam merupakan sistem yang berlawanan
dengan
ritme sirkadian. Kelainan pola tidur sebagai salah
satu
bentuk gangguan ritme sirkadian yang dialami
pekerja
sif memiliki konsekuensi patologis berupa peningkatan kadar sitokin
proinflamasi dalam darah karena penurunan sistem kekebalan dan antioksidan
dalam
tubuh.
Hal ini didukung oleh penelitian Sholihah,17
Hasil
Hasil
distribusi sif kerja, masa kerja, budaya K3 dan
fungsi
paru pada pekerja tambang di PT X sinergi pada
Tabel
1. Tabel 1 memaparkan hasil berdasarkan analisis
univariat
untuk mendapatkan distribusi fekuensi dari
masing-masing
variabel independen (sif kerja, masa kerja, dan budaya K3) dan variabel
dependen (gangguan
fungsi
paru). Hasil penelitian menunjukkan kasus fungsi
paru
tidak normal sebesar 57,9% meliputi obstruktif, restruktif maupun keduanya.
Tabel
2 menunjukkan hubungan antarvariabel independen dengan variabel dependen.
Seluruh variabel
meliputi
sif dan masa kerja, serta budaya 3 memiliki
hubungan
yang bermakna secara statistik dengan nilai p
<
0,05. Variabel bebas yang berhubungan dengan variabel terikat (variabel sif
kerja, masa kerja, dan budaya
K3)
bersama dimasukkan dalam perhitungan uji regresi
logistik
metode Enter. Sif kerja merupakan variabel bebas yang berpengaruh paling
dominan dengan fungsi
paru
(Tabel 3).
Pembahasan
Hasil
penelitian dengan menggunakan uji kai kuadrat
menunjukkan
terdapat hubungan antara sif kerja dan
fungsi
paru pekerja tambang batu bara dikarenakan nilai
p
< 0,05. Dalam penelitian ini, terdapat bahwa kapasitas
Tabel
1. Distribusi Frekuensi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen
Variabel
Kategori Kasus Kontrol Total
Sif
kerja Siang 98 (55,1%) 141 (79,2%) 239 (67,1%)
Malam
80 (44,9%) 37 (20,8%) 117 (32,9%)
Masa
kerja <5 Tahun 118 (66,3%) 43 (24,2%) 161 (45,2%)
≥5
Tahun 60 (33,7%) 135 (75,8%) 195 (54,8%)
Budaya
K3 Positif 108 (60,1%) 172 (96,6%) 280 (78,7%)
Negatif
70 (39,9%) 6 (3,4%) 76 (21,3%)
Fungsi
paru Normal 75 (42,1%) 163 (91,6%) 238 (66,9%)
Tidak
normal (obstruktif, 103 (57,9%) 15 (8,4%) 118 (33,1%)
restruktif,
campuran)
Tabel
2. Analisis Bivariat Variabel Independen dengan Fungsi Paru
Variabel
Kategori Kasus Kontrol Total OR 95% CI Nilai p
Sif
kerja Siang 98 (55,1%) 141 (79,2%) 239 (67,1%) 6,326 0,044
Malam
80 (44,9%) 37 (20,8%) 117 (32,9%) 1,829-21,001
Masa
kerja < 5 Tahun 118 (66,3%) 43 (24,2%) 161 (45,2%) 4,82 0,028
≥
5 Tahun 60 (33,7%) 135 (75,8%) 195 (54,8%) 1,743-13,239
Budaya
K3 Positif 108 (60,1%) 172 (96,6%) 280 (78,7%) 5,532 0,013
Negatif
70 (39,9%) 6 (3,4%) 76 (21,3%)
Tabel
3. Hasil Uji Multivariat Fungsi Paru
95%
CI for EXP (B)
Variabel
Bebas B Wald Sig Exp (B)
Lower
Upper
Sif
kerja 1,360 7,074 0,01 3,934 1,453 2,864
Masa
kerja 0,893 2,899 0,076 2,454 0,786 7,567
Budaya
K3 1,006 6,655 0,081 2,675 0,965 6,654
27
membuktikan
bahwa dinding alveoli tikus wistar yang
dikondisikan
sif malam mengalami penebalan lebih signifikan dibandingkan sif siang.
Penurunan kapasitas
fungsi
paru dapat disebabkan kondisi fisik individu
pekerja
yang meliputi mekanisme pertahanan paru,
anatomi
dan fisiologi saluran pernapasan serta faktor
imunologis.18
Dibuktikan oleh penelitian Siyoum,19 pada tahun 2014 di Etiopia dengan nilai p
= 0,001 yang
menjelaskan
bahwa gejala gangguan fungsi paru terjadi
lebih
banyak pada pekerja sif malam dibandingkan dengan sif lainnya.
Hasil
penelitian dengan menggunakan uji kai kuadrat
menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara masa
kerja
dan fungsi paru pekerja tambang batu bara, dikarenakan nilai p > 0,05.
Penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian
Puspita dkk,20 mengenai pengaruh paparan
debu
batu bara terhadap gangguan faal paru. Hasil analisis faktor risikonya menunjukkan
bahwa masa kerja tidak
memiliki
hubungan terhadap kejadian gangguan faal
paru.
Dalam penelitian Baharuddin dkk,21 masa kerja 2
-
7 tahun dan 8 - 13 tahun juga tidak memiliki hubungan
dengan
gangguan fungsi paru, baru pada masa kerja 14 -
20
tahun mulai terdapat hubungan dengan gangguan
fungsi
paru. Beberapa penelitian melaporkan bahwa di
negara
yang telah memiliki nilai ambang batas debu,
pneumokoniosis
pada penambang batu bara biasanya
terjadi
pada individu yang telah bekerja selama > 10
tahun
atau paling sedikit 5 - 10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti yang
signifikan antara masa
kerja
dengan fungsi paru. Jika masa kerja berhubungan,
diperlukan
waktu paparan yang cukup lama untuk dapat
menimbulkan
kelainan pada faal paru. Jumlah total suatu
zat
yang diabsorsi di paru-paru bukan hanya tergantung
pada
lamanya seseorang terpapar dengan debu saja, namun perlu diperhitungkan
sifat-sifat kimia dan fisik dari
debu
itu sendiri yang terhirup oleh pekerja.22
Penurunan
fungsi paru tidak hanya disebabkan oleh
faktor
pekerjaan maupun lingkungan kerja, tetapi juga
terdapat
sejumlah faktor nonpekerjaan yang dapat menjadi faktor yang memengaruhi maupun
menjadi variabel
pengganggu.
Hal-hal yang dapat memengaruhi seperti
usia,
jenis kelamin, kelompok etnis, tinggi badan, kebiasaan merokok, suhu
lingkungan, penggunaan alat pelindung diri, metode pengolahan serta jumlah jam
kerja/jam
giliran
kerja (sif kerja).23
Faktor
lain dalam penelitian ini yang menyebabkan
masa
kerja menjadi tidak berhubungan dengan fungsi
paru
adalah kadar debu. Pada penelitian ini, kadar debu
batu
bara merupakan faktor pengganggu yang tidak dapat dikendalikan karena setiap
hari semua pekerja tambang batu bara di bagian produksi berkontak langsung
dengan
debu batu bara.
Hasil
penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan
antara
budaya K3 dan fungsi paru pekerja tambang batu
bara
dikarenakan nilai p > 0,05. Penelitian ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Duma
dkk,1
yang mendesain modul menuju selamat sehat sebagai metode dan media penyuluhan
K3 yang efektif
meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku K3 (budaya K3) serta tenaga kerja inovatif
dalam pengendalian
gangguan
kesehatan. Hasil penelitian menyatakan penyuluhan K3 dalam penerapannya selama
satu tahun efektif
meningkatkan
pengetahuan dan sikap budaya K3, namun belum efektif meningkatkan kesehatan
pekerja.
Berdasarkan
hasil observasi di PT X, Rantau, Kalimantan
Selatan,
nilai ambang batas debu tidak diketahui.
Manajemen
perusahaan tambang batu bara hanya menyatakan secara lisan bahwa nilai ambang
batas debu dalam
keadaan
normal.24 Kadar debu lebih dari 350 mg/m3
udara/hari
(OR = 2,8; 95% CI = 1,8 - 9,9) merupakan
salah
satu faktor intrinsik yang terbukti berhubungan
dengan
penurunan kapasitas paru.6
Berdasarkan
kepustakaan, debu yang berukuran antara 5 - 10 mikron bila terhisap akan
tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, yang berukuran
antara
3 - 5 mikron tertahan atau tertimbun pada saluran
napas
tengah. Partikel debu dengan ukuran 1 - 3 mikron
disebut
debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan atau tertimbun
mulai dari bronkiolus terminalis sampai alveoli.25
Kesimpulan
Hasil
penelitian menunjukkan terdapat hubungan sif
kerja,
masa kerja, dan budaya K3 dengan fungsi paru
pekerja
tambang batu bara PT X di Kalimantan Selatan.
Daftar
Pustaka
1.
Duma K, Husodo AH, Soebijanto, Maurits LS. Modul menuju selamat
sehat:
inovasi penyuluhan kesehatan dan kesehatan kerja dalam
pengendalian
kelelahan kerja. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
2011;
14 (4): 213-23.
2.
Rikmiarif DE, Pawenang ET, Cahyati WH. Hubungan pemakaian alat
pelindung
pernafasan dengan tingkat kapasistas vital paru. Unnes
Journal
of Public Health. 2012; 1 (1): 12-7.
3.
Hermanus MA. Occupational health and safety in mining–status, New
developments,
and concerns. The Journal of the Southern African
Institute
of Mining and Metalurgy. 2007; 107: 531-8.
4.
Susanto AD. Pnemokoniosis: artikel pengembangan pendidikan keprofesian
berkelanjutan. Journal of Indonesian Medical Association. 2011;
61:
503-10.
5.
ILO [homepage in internet]. The prevention of occupational diseases.
World
day for safety and health at work. 2013 [cited 2014 Dec 5].
Available
from: http://www.ilo.org/safework/events/meetings/
WCMS_204594/lang—en/index.htm
6.
Meita AC. Hubungan paparan debu dengan kapasitas vital paru pada
pekerja
penyapu Pasar Johar Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat.
2012; 1 (2): 654-62.
7.
Susilowati IH, Syaaf RZ, Satrya C, Hendra, Baiduri. Pekerjaan, nonSholihah,
Hanafi, Wanti, Bachri, Hadi, Analisis Sif Kerja, Masa Kerja, dan Budaya K3
dengan Fungsi Paru
Kesmas:
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 10, No. 1, Agustus 2015
28
Occupational
Medicine. 2007; 36 (2): 299-306.
17.
Sholihah Q. Melatonin lowers levels of SOD and number of inflammatory cells BAL
wistar strain mice wearing mask PPE, sub acute exposed
by
coal dust day and night. Journal Applied Environment Biological
Science.
2012; 2 (12): 652-7.
18.
Raju AE, Hansi K, Sayaad R. A Study on pulmonary function tests in
coal
mine workers in Khammam District India. International Journal
Physioter
Respiratory Research. 2014; 2 (3): 502-6.
19.
Siyoum K, Alemu K, Kifle M. Respiratory symptoms and associated factors among
cement workers and civil servants in North Shoa, Oromia
Regional
State, North West Ethiopia: Comarative Cross Sectional Study.
Journal
Health Affairs. 2014; 2: 74-8.
20.
Puspita CG. Paparan debu batubara terhadap gangguan faal paru pada
pekerja
kontrak bagian coal handling PT. PJB Unit Pembangkit Paiton
[skripsi].
Jember: Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan
Keselamatan
Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember;
2011.
21.
Baharudin S, Roestam AW, Yunus F, Ikhsan M, Kekalih A. Analisis hasil
spirometri
karyawan PT. X yang terpapar debu di area penambangan
dan
pemrosesan nikel. Jakarta: Departemen Pilmonologi dan Ilmu kedokteran Respirasi
Fakulta Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
22.
Komendong DJWM, Ratu JAM, Kawatu PAT. Hubungan antara lama paparan dengan
kapasitas paru tenaga kerja industri mebel di CV. Sinar
Mandiri
Kota Bitung. Jurnal Kesmas Universitas Sam Ratulangi. 2012;
1
(1): 5-10.
23.
Kurniawidjaja LM. Program perlindungan kesehatan respirasi di tempat
kerja
manajemen risiko penyakit paru akibat kerja. Jurnal Respirologi
Indonesia.
2010; 30 (4); 217-29.
24.
PT. Hasnur Riung Sinerga. Profil dan gambaran men power di PT.
Hasnur
Riung Sinergi Site BRE. Rantau, Kalimantan Selatan: PT Hasnur
Riung
Sinergi; 2014.
25.
Sholihah Q, Ratna S, Laily K. Pajanan debu batubara dan gangguan pernafasan
pada pekerja lapangan tambang batubara. Jurnal Kesehatan
Lingkungan.
2008; 4 (2): 291-311.
pekerjaan,
dan psikologi sebagai penyebab kelelahan operator alat Berat
di
industri pertambangan batubara. Kesmas: Jurnal Kesehatan
Masyarakat
Nasional. 2013; 8 (2): 91-6.
8.
Kaligis RSV, Sompie BF, Tjakra J, Walangitan DRO. Pengaruh implementasi program
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terhadap produktivitas kerja. Jurnal Sipil
Statik. 2013; 1 (3) : 219-25.
9.
Siyoum K, Alemu K, Kifle M. Respiratory symptoms and associated factors among
cement workers and civil servants In North Shoa, Oromia
regional
state, North West Ethiopia: comarative cross sectional study.
Journal
Health Affairs. 2014; 2 (4): 74 - 8.
10.
Zheng H, Patel M, Hryniewicz K, Katz SD. Association of extended shift
work,
vascular fuction and inflammatory markers in internal medicine
resident:
a randomized control trial. JAMA. 2006; 296 (9): 1049-54.
11.
Kandung RPB. Hubungan antara karakteristik pekerja dan pemakaian
alat
pelindung pernapasan (masker) dengan kapasitas fungsi paru pada
pekerja
wanita bagian pengempelasan di Industri Mebel “X” Wonogiri.
Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2013; 2 (1).
12.
Putra DP, Rahmatullah P, Novitasari A. Hubungan usia, lama kerja, dan
kebiasaan
merokok dengan fungsi paru pada juru parkir di Jalan
Pandanaran
Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah. 2012; 1 (3):
7-12.
13.
Cahyana A. Faktor yang berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi
paru
pada pekerja tambang batubara PT. Indominco Mandiri
Kalimantan
Timur Tahun 2012 [research article]. Makassar: Bagian
Kesehatan
dan Keselamatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin, 2012.
14.
National Institute for Occupational Safety and Health . Coal mine dust
exposures
and associated health outcomes. NIOSH [online]; 2011 [cited 2015 Jan 4].
Available from: www.cdc.gov/niosh/docs/2011-
172/pdfs/2011-172.pdf.
15.
Hendryx M, Melissa M. Relations between health indicators and residential
proximity to coal mining in West Virginia. American Journal of
Public
Health. 2008; 98 (4): 668-71.
16.
Mumuya SHD, Bratveit M, Mashalla YJ, Moen BE. Airflow limitation
Langganan:
Postingan (Atom)